Sekeping Kisah di Hari Ibu
Sesulit Itukah
Membuat Ibu Tersenyum
Hari
itu adalah hari khusus untukmu. Ku berharap memberikan kejutan spesial meski
sederhana. Kubeli sebuah kue berwarna putih dan pink, berhias mickey dan minnie
mouse diatasnya, dan tak lupa serangkai kata-kata “Selamat Hari Ibu”. Meski
hujan mengguyur dengan memaksa, kusanggupkan menyetir sepedaku perlahan
berharap agar tak merusak kue itu.
Tak
lama kemudian ku telah sampai, keadaan bak kapal pecah yang akan karam.
Kebocoran terjadi dimana-dimana. Barang-barang berserakan. Sang nahkoda
menyuruh ketiga awak kapal untuk membereskannya. Namun, sang nahkoda itu tak
punya kendali didalamnya. Satu awak kapal tergeletak pulas kedinginan
berselimut kain tipis. Satu awak lainnya memandang jendela persegi tanpa
menghiraukan perintah sang nahkoda. Ia telah asyik menyimak semua pemandangan
yang ada dibalik jendela itu. Tinggalah aku seorang yang tersadar, menghiraukan
perintah sang nahkoda. Kusumbat semua sumber tetesan itu. Kukembalikan semua
barang ketempat semestinya. Tak lupa kubersihkan lantai kapal agar tak ada yang
terpeleset.
Bukan....
bukan karena aku mematuhi sang nahkoda atau hormat kepadanya. Bukan.... bukan
karena aku takut pada sang nahkoda hingga menuruti perkataannya, atau ingin
menyenangkan hati sang nahkoda. Bukan karena itu aku melakukan semuanya. Semua
kulakukan, berharap ketika sang kapten kembali, semua tetap bersih dan teratur.
Berharap sang kapten tersenyum melihat keadaan kapal yang terkendali. Berharap
sang kapten bangga memiliki awak kapal seperti diriku. Berharap sang kapten
bangga telah membangun kapal sehebat ini.
Sebelum
aku berangkat membeli kue, telah ada batu–batu yang menghalangi jalanku. Namun,
semua batu-batu itu bisa kuhindari dan beberapa telah kusingkirkan agar tak
membuatku jatuh. Sesampainya di rumah, dengan senang ku masukan kue itu ke
dalam lemari pendingin. Tak lupa berdoa pada Tuhan, agar rencana kecilku
berjalan lancar. Amin.
Selama
4 jam kemudian, semua awak kapal dan sang nahkoda menunggu kedatanggannya.
Namun, sang kapten tak muncul jua. Keroncong di dalam perutku semakin keras
bernyanyi, bak kodok yang bersahutan di kala hujan. Kuputuskan untuk pergi ke
kabin dan memasak apa saja yang ada untuk mengisi tong di tubuhku ini. Tak
berselang lama sang nahkoda pergi maninggalkan kapal. Satu dari empat sekoci
yang tersedia di kapal ia gunakan untuk menjemput sang kapten. Kutersadar di
kapal ini tak ada nahkoda ataupun kapten. Rasa khawatir pun menyelimutiku. Ah,
aku yakin sang nahkoda tak sebodoh itu untuk meninggalkan kapalnya. Ternyata
kapal ini berhenti berlaju di tengah-tengah lautan.
Aku
menunggu dengan harapan semua akan baik-baik saja. Dua jam kemudian, suara
sepeda motor bapak yang khas itu terdengar, dan ada seorang wanita cantik di belakang
beliau. Alhamdulilah, ibuku akhirnya datang juga. Ku berlari dari teras rumah
menuju lemari pendingin. Kuambil kue yang telah kubeli tadi. Terdengar langkah kaki
ibu dari belakang pundakku. Kubalikkan tubuh dan “Selamat Hari Ibu”, sambil
kupersembahkan senyum terindah untuknya.
Wanita
berusia 49 tahun itu tersenyum menawan, mencium pipi kanan dan pipi kiriku
sambil berucap, “terima kasih sanyang”. Rasa senang dan hangat menyelimutiku
meski di musim hujan. Terucap dari mulut manisnya, “siapa yang memberi ini?”.
Seketika senyuman lebarku retak, bak gelas retak yang sebelumnya dituang air
panas kemudian dibuang dan selanjutnya dituang air dingin. “Dari aku, Bu”,
jawabku dengan singkat. Oke tak usah hiraukan pertanyaan terakhir itu, yang
terpenting adalah di hari spesial ini kejuatanku berhasil dan membuatnya
tersenyum lebar. Bagiku itu sudah cukup.
Kuistirahatkan
tubuhku sejenak sambil memandang jendela persegi. Tak heran jika awak kapal itu
suka memandang jendela ini. Tak lama sang kapten menghampiriku dan duduk
disebelahku. Ia sangat senang terhadap kerja kerasku tadi. Sebuah prestasi
sederhana yang sangat memuaskan. Dari kejauhan terlihat sang nahkoda dan salah
satu awak kapal duduk di ruangan sebrang. Sementara awak kapal yang satu lagi
masih asyik dengan jendela perseginya. Sang kapten berbicara pada sang nahkoda
dari ruangan sebrang, mengenai biaya listrik di kapal ini. Ia berbicara bahwa
biaya listrik untuk kapal ini naik dan itu merupakan ketetapan dari para
petinggi. Sontak sang nahkoda terkejut.
Melihat ekspresinya, sang kapten pun meyakinkan sang nahkoda serta mengingatkan
bahwa uang yang ada kurang. Setelah mendengarnya sang nahkoda semakin tak
percaya, wajahnya merah padam dan kakinya bergemeletuk. Sang nahkoda tak
mempercayainya bahwa uang mereka kurang. Sang kapten pun mengucurkan air mata,
bukan karena apa, tapi karena ia tak dipercaya oleh sang nahkoda.
Permasalahannya sepele, sang kapten hanya lupa jumlah tepatnya uang yang
dibayarkan untuk biaya listrik kapal. Namun, bagi sang nahkoda hal itu mampu
memuncakkan emosi dan membuat mereka bertengkar.
Baru
5 menit yang lalu, kulihat ibu tersenyum mendapat kejutan dariku. Namun,
sekarang ia menangis terisak-isak.
Setelah
beberapa menit pertengkaran itu mulai terbenam, sekarang ditambah keributan
dari salah satu awak kapal yang membuat sakit hati sang kapten. Seakan
mengucapkan bahwa kapal ini telah rusak, berpenyakit dan bernanah. Ia tak betah
berada disini dengan segala kekacauannya. Ia lebih suka berada di kapal lain,
meskipun kapal lain lebih kecil dan sempit. Sang kapten pun begitu kecewa dan
terpukul mendengarnya. Seakan kapal itu karam dan ia tenggelam bersamanya. Di
dasar laut, berkarat, berlumut, sebagai santapan ikan hiu.
Ibu
menangis disebelahku sambil memandang uang hasil kerja kerasnya seharian tadi.
Ia bermaksud membagi uang itu kepada keluarga kecilnya, bonus yang ia peroleh
dari kantor. Namun, apa yang ia peroleh di rumah?. Aku bisa menyumbat semua
tetesan hujan itu, tapi tetesan ini, butuh seumur hidupku untuk menyubatnya.
Tuhan, sesulit itukah membuat Ibu tersenyum? Luapan tangisannya sangat dalam
terasa. Semakin tak kuhiraukan tetesan itu, semakin besar tetesannya. Semakin
banyak pula kebanjiran yang akan terjadi. Tuhan, kumohon buatlah sang kapten
tersenyum dalam menjalani hidupnya. Gagah ketika menggunakan seragam
kebanggaannya. Mulia dengan kelebihan dan kekurangannya. Elok dengan paras
cantik dan lembut belaiannya. Indah cemerlang bagai pelangi yang terlukis di
langit setelah hujan turun.
By: GombretGedot
23/12/13
Komentar
Posting Komentar