PERILAKU ALTRUISME DAN AGRESI PADA REMAJA
PERILAKU ALTRUISME DAN AGRESI PADA
REMAJA
Tugas
Akhir Mata Kuliah Bahasa Indonesia
Pretty
Sefrinta Anggraeni
121664017
2012
A
Prodi
Psikologi
Jurusan
Psikologi Pendidikan dan Bimbingan
Fakultas
Ilmu Pendidikan
Universitas
Negeri Surabaya
2013
PERILAKU ALTRUISME DAN AGRESI PADA
REMAJA AWAL
Oleh: Pretty Sefrinta Anggraeni
I.
Pendahuluan
Masa remaja adalah transisi atau
peralihan dari anak menjadi dewasa. Hal ini sesuai dengan pernyataan Santrock
yang menyatakan bahwa masa remaja (adolescence)
didefinisikan sebagai periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak
dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan
sosio-emosional (John W.Santrock, 2007:20). Pada masa transisi tersebut remaja mengalami
fluktuasi emosi yang berlangsung lebih sering dibandingkan ketika masa
kanak-kanak. Selain itu, terdapat lingkungan sosial, media, dan biologis yang
dapat menyebabkan perilaku agresi dan altruisme.
Pada dasarnya manusia telah
mempersenjatai dirinya sendiri dengan kapasitas untuk menghancurkan dan tidak
ada senjata lain dalam dirinya yang kapasitasnya dapat menghambat agresi. Agresi
(aggression) adalah perilaku fisik
atau verbal yang bertujuan untuk menyakiti orang lain. Hal ini, sependapat
dengan David G. Myers yang berbunyi bahwa agresi merupakan perilaku fisik atau
verbal yang bertujuan menyebabkan kerusakan (David G. Myers, 2012:187).
Perilaku agresi sering kali disematkan pada remaja, semisal mengancam,
menghina, berbicara kotor, menggosip, tawuran, menghancurkan barang, dll.
Namun, terkadang masyarakat menstereotip dan melebih-lebihkan perilaku remaja
tersebut, padahal orang dewasa pun juga melakukan perilaku agresi.
Berbeda dengan agresi yang bertujuan
merusak dan menyakiti, dalam kehidupan sehari-hari kita sering menyaksikan
seseorang membantu orang lain dengan ikhlas atau sukarela tanpa mengharapkan
balasan atau imbalan, bahkan ketika menolong orang, penolong tersebut tidak
memikirkan keadaan dirinya sendiri. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai
perilaku altruisme. Altruisme (altruism)
adalah motif untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain tanpa sadar untuk
kepentingan pribadi seseorang (David G. Myers, 2012:187). Hal ini sama dengan
pendapat Eisenberg, Fabes, dan Spinrad (dalam Psikologi Umum, 2010:190) yang
berbunyi, altruisme (altruism) adalah
ketertarikan tanpa pamrih dalam menolong orang lain. Mereka melakukan perilaku
altruisme tanpa melihat status, profesi/jabatan, usia, jenis kelamin, dll. Meskipun
remaja sering dianggap sebagai sosok yang mementingkan dan memikirkan diri
sendiri, namun remaja juga banyak yang menampilkan perilaku altruisme.
Remaja yang melakukan perilaku agresi
belum tentu tidak melakukan perilaku altruisme, ataupun sebaliknya. Sehingga,
masyarakat seharusnya tidak menstereotip bahwa perilaku remaja jaman sekarang
dominan berperilaku buruk atau remaja sekarang tidak ada yang berjiwa prososial.
Karya tulis ini, dibuat dengan tujuan
untuk menyadarkan remaja agar lebih meningkatkan perilaku altruisme dan sebisa
mungkin memperkecil perilaku agresi. Selain itu, agar masyarakat dapat lebih
memahami remaja dan alangkah baiknya jika masyarakat dapat membimbing serta
memberikan contoh yang baik sehingga dapat ditiru oleh para remaja. Karya tulis
ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca maupun penulis
lainnya.
II.
Isi
Hal-hal
yang mempengaruhi perilaku agresi, antara lain:
1. Peristiwa
yang Tidak Menyenangkan
Peristiwa yang tidak menyenangkan dapat memicu timbulnya
perilaku agresi. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Berkowitz (dalam
Psikologi Sosial, 2012:84) yang menyatakan “Bahwa pengalaman yang tidak
mengenakkan merupakan pemicu dasar dari agresi permusuhan”. Peristiwa yang
tidak mengenakkan tersebut, seperti ketika sakit, panas, mendapat serangan dan
berada pada keadaan yang menyesakan. Ketika seorang remaja mengalami rasa
sakit, maka ia akan cenderung melakukan tindakan agresi. Semisal, remaja yang
sedang mengalami sakit kepala, atau menstruasi, ia akan bereaksi lebih
emosional dan cenderung berperilaku agreasi, seperti mengumpat, memarahi orang
lain, atau merusak barang disekitarnya, dll.
Selain rasa sakit, panas juga dapat menyebabkan perilaku
agresi. Panas yang dimaksudkan adalah pada saat cuaca panas dan keras. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Anderson (dalam Psikologi Sosial 2012:86), telah
dilakukan penelitian di laboratorium yang menunjukkan bahwa suhu panas mampu
membangkitkan rasa marah dan meningkatkan pikiran serta perasaan bermusuhan. Seperti,
ketika remaja mengendarai sepeda motor di siang hari, ia akan cenderung
mengumpat (berkata kotor) karena keadaan cuaca yang sangat panas.
Seorang remaja yang mendapat serangan atau penghinaan oleh
orang lain akan mendorong dirinya untuk melakukan perilaku agresi. Semisal,
ketika remaja mendapatkan ejekan dari teman-temanya yang menyakitkan hati atau
psikisnya, maka ia akan bereaksi membalas mengejek temannya tersebut atau
bahkan dapat membalas secara fisik, seperti memukul, menjambak, menampar, dll. “Beberapa
penelitian, termasuk yang dilakukan di Osaka University oleh Kennichi Ohbuchi
dan Toshihiro Kambara (1985), memperkuat pendapat bahwa penyerangan yang
disengaja melahirkan serangan balasan” (David G. Myers, 2012:86).
2. Pengaruh
Media
Agresi dipelajari melalui proses penguatan dan belajar
melalui pengamatan, salah satunya melalui media, seperti televisi, film dan
video games. Media yang menayangkan adegan kekerasan dapat ditiru oleh para
remaja, sebab pada dasarnya tayangan media dapat menimbulkan keinginan untuk
meniru (imitasi). Sehingga, sulit sekali bagi remaja jaman sekarang untuk menolak
pengaruh tayangan tersebut. Selain itu, televisi atau film sendiri merupakan
media komersial dan keberadaannya sangat melekat dengan kehidupan remaja serta
menjadi konsumsi sehari-hari bagi mereka.
Tidak jauh berbeda, video games juga mampu mendorong
seseorang untuk bertindak agresi. Gentile dan Anderson (dalam Psikologi Sosial,
2012:103) memberikan beberapa alasan mengapa memainkan video games mungkin
lebih meracuni dibandingkan menonton kekerasan di televisi. Sebab dengan
bermain video games, pemainnya mampu mengindentifikasi diri ke peran dari tokoh
yang melakukan kekerasan, terlibat dalam keseluruhan adegan kekerasan dan
melakukan kekerasan secara berulang-ulang, serta memperoleh hadiah (reward) untuk keberhasilan agresi yang
telah dilakukan.
3. Pengaruh
Kelompok
Kelompok dapat memperkuat reaksi agresi pada remaja. Hal
ini sesuai dengan pendapat David G. Myers (2012:106) yang berbunyi, “Melalui
penularan sosial, kelompok dapat memperkuat kecenderungan agresi, sebagaimana
kelompok juga dapat menurunkan kecenderungan lainnya”. Ditambah lagi,
kebanyakan remaja memiliki relasi dengan kelompok sebaya seperti kelompok (crowd), geng dan klik (cliques). Kesetiaan pada kelompok, geng
atau klik memiliki kendali yang kuat terhadap kehidupan banyak remaja, sebab
keanggotan kelompok, geng atau klik dapat meningkatkan harga diri remaja
ataupun sebaliknya. Kesetiaan tersebut akan mulai bermasalah, jika mengarah
pada perilaku yang menyimpang, seperti kekerasan, tawuran, mencuri, dsb.
Hal-hal
yang mempengaruhi perilaku altruisme antara lain:
1. Jumlah
Pengamat
Umumnya setiap orang, tidak hanya remaja, berfikir bahwa
semakin banyak orang (jumlah pengamat) yang melihat kejadian darurat atau
kecelakaan, maka akan semakin banyak pula yang akan memberikan pertolongan pada
si korban. Namun pada kenyataanya, sebenarnya terkadang si korban tidak akan
berpeluang mendapatkan bantuan ketika banyak orang disekelilingnya. Hal
tersebut disebabkan oleh efek pengamat, yaitu seseorang biasanya kurang untuk
memberikan bantuan ketika ada orang atau pengamat lainnya. Hal ini, selurus
dengan teori efek bystander (bystander
effect), yaitu kecenderungan individu yang mengamati suatu keadaan darurat
untuk tidak menolong ketika orang lain juga hadir dibandingkan ketika pengamat
sendirian (Laura A. King, 2010:192). Kemungkinan ketika jumlah pengamat pada
suatu kondisi darurat meningkat, kecenderungan setiap pengamat akan kurang menyadari
adanya insiden tersebut, kurang mengintrepetasikan hal tersebut sebagai kondisi
darurat, dan kurang cenderung mengasumsikan adanya tanggung jawab.
2. Membantu
Ketika Orang Lain juga Membantu
Salah satu kondisi
remaja melakukan tindakan altruisme adalah ketika mereka baru saja
mengobservasi ada orang lain yang juga memberikan bantuan. Semisal, seorang
remaja akan menolong seseorang yang terjatuh dari sepeda, ketika seperempat mil
sebelumnya ia melihat ada orang lain juga yang turut memberikan pertolongan.
3. Tekanan
Waktu
Remaja akan lebih mungkin berperilaku altruisme ketika
memiliki cukup waktu luang, mereka akan cenderung tidak berperilaku altruisme
ketika tengah sibuk atau terburu-buru.
4. Kesamaan
Remaja cenderung terdorong bertindak altruisme kepada orang
lain apabila memiliki persamaan atau kemiripan dengan orang tersebut. Kesamaan
atau kemiripan yang dimaksud adalah pada tampilan luar, seperti cara berpakaian
yang sama, dan kemiripan dengan wajah sendiri, serta kesamaan kepercayaan.
5. Suasana
emosi
Remaja sangat erat sekali dengan suasana hati atau emosi
yang berfluktuasi. Sebagian besar suasana hati atau emosi remaja dipengaruhi
oleh pengalaman lingkungan dan sebagian kecil dipengaruhi oleh perubahan
hormon. Namun kenyataannya, menurut literatur penelitian mengenai menolong
adalah bahwa orang-orang yang lebih bahagia lebih suka menolong. Sehingga,
kemungkinan remaja akan berubah-ubah keinginan untuk berperilaku altruisme,
melihat dari suasana hati atau emosi pada saat itu. Tetapi, dengan berjalannya
waktu, remaja akan beranjak dewasa, sehingga mampu mengelola emosinya dan
belajar memahami bahwa berperilaku altruisme dapat menjadi pendorong suasana
hati.
Melalui uraian diatas, maka para
remaja diharapkan dapat memahami diri mereka dan mampu mengurangi perilaku
agresi, serta mampu meningkatkan perilaku altruisme. Beberapa cara mengurangi
perilaku agresi, antara lain:
1. Katarsis
Hipotesis katarsis mendasarkan jika remaja menekan
kemarahannya maka harus ditemukan salurannya. Berlawanan dengan hipotesis
katarsis tersebut, bahwa mengeluarkan agresi juga akan memperkuat agresi. Oleh
karena itu, ada cara terbaik lainnya yaitu dengan mengkomunikasikan perasaan remaja,
sehingga dapat membuat orang lain memberikan respons positif, dengan kata lain
remaja dapat asertif tanpa menjadi agresif.
2. Pendekatan
Belajar Sosial
Dengan cara melatih orang tua untuk mendisiplinkan anak
remajanya tanpa menggunakan kekerasan, yaitu dengan mengurangi stimulasi
tindakan yang tidak menyenangkan dengan memberi model dan imbalan pada perilaku
non agresif, seperti ketrampilan komunikasi “setelah kamu selesai membantu
membersihkan rumah, kamu boleh pergi jalan-jalan ke mal” daripada “jika kamu
tidak membantu membersihkan rumah, kamu akan dihukum”. Selain itu, orang tua
sebaiknya memantau dan mengurangi tayangan agresi dari media, sehingga remaja
tidak terlalu terpengaruh atau meniru tayangan dari media tersebut.
Beberapa
cara meningkatkan perilaku altruisme, antara lain:
1. Membalik
faktor-faktor yang menghambat perilaku menolong
Seperti, mengambil langkah-langkah untuk mengurangi
ambiguitas dari suatu kondisi darurat dan meningkatkan rasa bertanggung jawab.
Semisal, ketika melihat suatu kejadian darurat, remaja dapat berasumsi bahwa
mereka memiliki tanggung jawab yang sama untuk menolong, layaknya pengamat
lainnya. Serta, dapat membuat suatu ketertarikan personal, semisal, mempublikasikan
acara donor darah kepada para remaja dengan didukung melalui ajakan orang tua,
teman atau keluarga, akan lebih efektif, dibandingkan hanya melalui poster atau
media massa.
2. Mengaktifkan
rasa bersalah dan kepedulian terhadap gambaran diri
Mengaktifkan perasaan bersalah pada diri sendiri, membuat
kita akan lebih cenderung melakukan perilaku altruisme sebagai tindakan untuk
mengurangi rasa bersalah dan mengembalikan keberhargaan diri. Pernyataan ini
sesuai dengan pendapat David G.Myers (2012:232), yaitu “Orang yang bersalah
adalah orang yang bersedia untuk menolong”. Selain itu, dapat juga dengan
meningkatkan suatu kepedulian terhadap gambaran diri, dengan cara memberikan
label penolong kepada seseorang. Semisal, memberikan pujian kepada remaja yang
telah menolong seseorang, agar memperkuat gambaran diri penolong pada dirinya.
Sehingga, remaja tersebut cenderung lebih berperilaku altruisme lagi.
3. Mengajarkan
Altruisme
Para orang dewasa, orang tua, atau masyarakat dapat
mengajarkan perilaku altruisme kepada remaja, yang dapat dilakukan dengan cara
mencontohkan langsung, atau melalui media, dll. Sebab, remaja yang melihat
perilaku menolong cenderung akan memberikan pertolongan juga. Selain itu,
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa media dapat menimbulkan
keinginan untuk meniru (imitasi) kepada penontonnya, otomatis jika media
menayangkan altruisme kepada remaja maka remaja akan terpengaruh dengan
sendirinya.
III.
Penutup
Dari penjelasan diatas, maka dapat
diketahui hal-hal yang dapat mempengaruhi seorang remaja berperilaku agresi dan
altruisme. Serta, dapat diketahui pula cara untuk mengurangi perilaku agresi
dan meningkatkan perilaku altruisme.
Dalam mengendalikan perilaku remaja,
peran orang tua dan masyarakat dibutuhkan untuk memberikan pengertian dan
bimbingan kepada remaja, agar menghindari perilaku agresi yang dapat merugikan
dirinya sendiri dan terutama orang lain. Selain itu, diharapkan pula agar orang-orang
dewasa untuk mendukung dan memberikan contoh kepada remaja, agar lebih
meningkatkan perilaku altruisme yang dapat menguntungkan dan membangun hubungan
baik antar sesama.
Daftar
Pustaka
King,
Laura A. 2010. Psikologi Umum.
Jakarta: Salemba Humanika.
Myers,
David G. 2012. Psikologi Sosial.
Jakarta: Salemba Humanika.
Santrock,
John W. 2007. Remaja, edisi kesebelas.
Jakarta: Erlangga.
Komentar
Posting Komentar