Sofia dan Harum Mentega // Cerpen: Teguh Affandi
Sofia dan Harum Mentega
Cerpen:
Teguh Affandi
Pagi
tidur. Rumah-rumah bergelayut kantuk. Bahkan matahari belum mau menyambar pagi.
Jalanan sepi, hanya ada beberapa kendaraan melintas dan gelandangan mulai
bangun dan mencari pengganjal kelaparan. Sepi atau ramai, lampu di tiang traffic light akan terus menyala
bergantian, merah paling lama, kemudian kuning peralihan, dan hijau. Ada atau
tidak kendaraan yang lewat, jumlah detik tetaplah pakem.
Sofia
dengan sepeda, selalu menunggu lampu merah menghentikan kendaraan lalu
menyeberang jalan. Sampai ada tanda hijau untuk pejalan kaki dan pesepeda
menyeberang. Pukul enam pagi Sofia bersiap, membawa sepeda yang di belakang
sadel ada keranjang bambu berisi bahan roti. Sofia membuka kedai roti dan kopi
di pojokan traffic light, tempat
sarapan para pekerja pagi atau yang baru pulang dari lembur. Harum mentega olesan
roti Sofia dan kopi panas, menggugah liur. Sepanjang jalan, Sofia mengumbar
harum mentega dan keju.
Sofia
berhenti. Kepalanya mendongak melihat lampu merah yang menyala. Kemudian
memutar kepala menyapu pandangan. Kakinya mengetuk-ngetuk tidak sabar untuk
segera menggenjot pedal. Rambut bergelombang cokelatnya digerai dengan tutup
topi beanie. Sofia terus menghitung detik.
Selama
lampu hijau dan kendaraan bersicepat menginjak pedal gas, Sofia sering
membaca-baca tempelan stiker di tiang traffic
light. Dilihatnya para gelandangan yang masih melingkar seperti lekukan croissant, pagar-pagar kantor yang
berjajar seperti chesse stick,
roda-roda kendaraan membulat donat, gedung kotak seperti biscotti keras. Sofia tertawa, tidak ingin membayangkan sungai
keruh di kanan jalan itu, sebagai kopi atau cokelat panas. Pikiran jorok itu
bisa mencemari harum kue.
“Lampu,
kalau kamu berjumlah tujuh, pasti kupepindankan seperti rainbow-cake.” Dengan tangannya Sofia mengelus tiang berwarna
kuning, kemudian bersiap menyeberang. Sofia harus lekas, para pelanggan kuenya
tidak boleh terlambat mengambil kue dan kopi atau cokelat panas.
Semakin
jauh berjalan, hanya terlihat keranjang dan topi baenie yang bergoyang.
Beberapa menit kemudian akan ada aroma mentega, lelehan keju serta kafein kopi
menguar, menimpa jalan. Sofia sudah membuka kedai. Jalanan mulai ditumpahi
kendaraan. Dan entah apa yang ada dalam pikiran mereka yang berhenti di muka traffic light. Yang naik mobil, yang
naik motor, yang naik bus, naik taksi, atau menggunakan sepeda, sama-sama
menanti hijau. Mereka berpikir sesegera mungkin sampai. Mungkin antar mereka
saling menghina dan meremhkan dalam hati, yang naik mobil mengejek yang naik
bus, yang naik bus mengejek yang naik motor, yang naik motor juga meragukan
kecepatan yang naik sepeda. Meski tak diucapkan, dan tak saling mengenal.
Asap-asap
kendaraan mengusir heharuman dari kedai Sofia.
***
Suatu
pagi, Sofia berwajah bahagia. Tawa dan senyumnya diumbar. Dia sedang dibonceng
lelaki. Lelaki, dengan segambar Amour di
leher belakang, itu menemani Sofia membuka kedai. Masih dengan harum mentega
dan keju, saat menanti trafiic light
berubah merah, Sofia tidak lagi sempat membayangkan gelandangan, tiang pagar,
lampu, ban mobil, dan jalanan sebagai kue-kue yang disajikan di etalase kaca di
kedainya. Tangannya mengamit dan memeluk erat kekasihnya. Mereka tertawa.
“Sofia,
aku suka harum mentegamu.”
“Dari
dulu harum mentega begitu,” Sofia mendongak sebentar.
“Mentegamu
enak. Bikin liur menetes, apalagi kalau dioles ke roti panas. Kalau saja lampu ini
bisa bicara, pasti meminta jatah. Saban hari tertampar harum kue mentegamu,”
kekasih Sofia memukul tiang lampu warna kuning.
Sofia
tersenyum, “Dua detik lagi. Bersiap!”
Kekasihnya
meminta tangan Sofia mengamit rapat. Dia bersiap seperti atlet sepeda balap.
Dan wuuussh, digenjot cepat. Samar
terdengar cekikikan Sofia dan derit roda.
Sejak
itu, selalu kulihat Sofia bersama kekasihnya. Berangkat dan pulang, hingga
berjalan beberapa bulan. Sofia kembali sendirian. Mungkin kekasihnya sudah
capek mengantar. Pukul enam Sofia sudah siap menyeberang.
“Hanya
kamu yang paling setia, lampu. Kekasihku berselingkuh dengan pelangganku. Yang
lebih cantik, lebih kaya. Tetapi apa dia lupa ucapannya. Tentang harum
mentegaku, tentang kelembutanku, tentang kue-kue yang enak. Dia pembohong,”
Sofia menangis. Pagi itu langit seperti ikut-ikutan redup. Padahal pedagang
asongan yang membawa koran hari ini, membaca ramalan cuaca akan terik.
“Lampu,
maafkan aku.” Sofia duduk bersimpuh. Dibiarkan lampu berotasi
merah-kuning-hijau berkali-kali. Sofia tidak peduli. Ingin dikuras kesedihan,
sebelum membuka kue. Apa jadinya kue yang dibuat dengan rintik air mata? Dunia
dalam kepala Sofia hanyalah butir-butir kesedihan. Tak ada gelandangan, pagar,
jalanan, sungai, ban, tidak ada imajinasi tentang kue.
“Aku
harus pergi. Kedai pasti sudah ramai. Maafkan aku,” Sofia mengeringkan embun di
halus matanya. Harus lekas membuka kedai. Meski ada aroma harum mentega, tetapi
hari itu harumnya begitu berbeda. Sesekali aroma gosong tercium. Orang-orang
yang lewat dan berhenti di traffic light,
mengernyitkan dahi. Hidung mereka begitu sensitif dengan aroma tidak enak,
tetapi bebal dan tebal dengan aroma harum. Karena terbiasa disapu harum mentega
sensitivitas hidungnya menurun.
Dari
seberang jalan, terlihat Sofia sesekali istirahat di belakang etalase kaca.
Dilemparkannya lap yang menggantung di apron putih. Topi baenie dilepas dan ada
rintik di pojok mata. Ternyata kesedihan Sofia tidak hangus di muka oven,
justru mengaramel dan membuat matanya berair.
Seorang
pelanggan, wanita tambun, datang memesan. Sebentar, kemudian wanita itu
memaki-maki Sofia.
“Kalau
tidak bisa memasak, tidak usah buat kedai roti. Ini gosong!”
“Maaf
nyonya, akan saya buatkan cokelat panas. Sebagai ucapan maaf saya,” Sofia
membereskan kue mentega lepehan dari mulut. Sofia berusaha menyodorkan kue
baru.
“Tidak
perlu. Aku sudah tidak bernafsu makan kue dari kedaimu.”
Sofia
melepas wanita tambun itu pergi dengan rasa dongkol masih berbiak di hati
wanita tambun. Sofia harus tahu bahwa wanita tambun itu boleh saja ditampar.
Meski dia pelanggan yang diibaratkan raja, tetapi apa dia tidak pernah
mengalami putus cinta? Bagaimana rasanya? Tentu sakit.
Kesedihan
Sofia menetes ke dalam adonan roti. Yang seharusnya dipenuhi aroma mentega,
hanya tercium gosong luka. Sofia menatap lekat roti-roti dalam etalase yang
tidak seharum biasanya. Cinta dan luka silih berganti, memilin hati Sofia.
Menyita perhatian Sofia, membuat bantat adonan, membuat ragi biang tak bekerja
sempurna, seperti teriakan wanita tambun itu yang mengagetkan jalanan.
“Copet…!!”
tas dan kalung berliannya dirampok dua lelaki berbadan jangkung bertopeng.
Orang-orang menaruh perhatian sebentar kemudian kembali menekuri aktivitas
masing-masing.
Wanita
tambun payah mengejar dua pencopet yang sempat berlari di depan Sofia yang
menutup kedainya. Sofia tak begitu ingin mengurusi urusan wanita tambun. Sofia menuntun
sepeda. Masih layu, Sofia merapikan topi beanie dan membawa sepeda ke pinggir
jalan. Ditunggunya traffic light sampai
berwarna merah. Jalanan aspal melipat keriuhan dan ramainya kota. Sofia menanti
berwarna merah.
“Lampu,
mungkin hanya kamu yang mengerti. Mereka yang lewat kedaiku hanya membaui harum
mentega rotiku. Lampu, apa perlu kau kupakaikan tuksedo(1). Karena
hanya kau yang mengertiku,” sepedanya terjatuh. Sofia memeluk tiangku. Ada
lelehan air mata. Sofia tersedu.
Dalam
hati lampu itu berkata:
“Aku
bisa mengabarkan perubahan merah-kuning-hijau ke semua orang, tetapi aku hanya
bisa mengabarkan hatiku ke kamu, Sofia. Tapi, hanya bisa kukecup dahimu lewat
tiangku. Rangkulah aku. Peluklah sesukamu. Disaat aku bisa merengkuhmu, akan
kurengkuh semua tubuhmu. ”
Mereka
yang menunggu lampu hingga kembali hijau, menatap aneh. Seorang wanita gila,
memeluk traffic light dan menangis. Wanita
cantik. mentega, keju, tepung, dan biang tercecer di dekatnya. Mereka sempat
memandang, kemudian setelah itu lupa lagi.(*)
Yogyakarta, 2013
(1)
Dalam
satu episode “Spongebob Squarepants”, Patrick menikahi tiang halte bus dengan
pakaian pengantin dan tuksedo.
TEGUH AFFANDI, lahir di Blora, 26 Juli 1990.
Komentar
Posting Komentar